Diajukan
untuk melengkapi tugas bahasa Indonesia
Dosen
pembimbing
Haerudin, M.Pd
Disusun
oleh :
Dian Istiqomah
1584202146
PRODI
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH TANGERANG
TANGERANG
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat yang diberikan sehingga saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan maksud memenuhi tugas mata
kuliah Bahasa Indonesia. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Haerudin,
M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Bahasa Indonesia.
Dalam penyusunan
makalah yang berjudul “Sejarah dan Kedudukan Bahasa Indoonesia” ini dalam
penyusunannya masih adanya hambatan , namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan
orang tua serta teman sekalian yang telah membantu memberikan informasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dari beberapa sumber referensi
yang ada.
Harapan saya semoga
makalah ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan kepada para pembaca. Saya
menyadari makalah ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu saya
mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Tangerang,
Desember 2015
Penulis,
Dian Istiqomah
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………. ii
Daftar
Isi ……………………………………………….......... iii
BAB
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang …………………………………. 1
B. Rumusan
Masalah …………………………….... 1
C. Tujuan
Penulisan ……………………………...... 2
D. Manfaat
Penulisan ……………………………… 2
BAB
II. PEMBAHASAN
A. Sejarah
Bahasa Indonesia ……………………. 3-10
B. Kedudukan
Bahasa Indonesia ……………........ 10-13
BAB
III. KESIMPULAN…………………………………….. 14
Daftar
Pustaka ……………………………………………….. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dapat
kita perhatikan betapa pentingnya bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
berhubungan dengan masyarakat kita pasti menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi untuk kita berinteraksi dengan seseorang. Penggunaan bahasa meliputi
berbagai aspek kehidupan. Dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, dapat mempermudah kita berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda
suku maupun budayanya sehingga terjadi komunikasi yang efektif serta dapat
mengatasi terjadinya kesalahpahaman komunikasi karena bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai suku dan budaya yang berbeda latar belakangnya.
Bahasa
Indonesia pasti mengalami perkembangan dari sebelum ditetapkannya sebagai
bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara serta peristiwa-peristiwa yang ada
dalam sejarah bahasa Indonesia, namun tidak semua masyarakat Indonesia
mengetahui bagaimana bahasa Indonesia itu dapat menjadi bahasa nasional maupun
bahasa negara serta kedudukan bahasa Indonesia itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah bahasa Indonesia?
2.
Peristiwa penting apa saja yang ada
dalam perkembangan bahasa Indonesia?
3.
Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mendeskripsikan sejarah bahasa
Indonesia.
2.
Mendeskripsikan peristiwa-peristiwa
penting dalam perkembangan bahasa Indonesia.
3.
Mengetahui kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1.
Memberikan pengetahuan kepada pembaca
maupun penulis tentang sejarah bahasa Indonesia.
2.
Memberikan pengetahuan kepada pembaca
maupun penulis tentang peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan bahasa
Indonesia.
3.
Memberikan pengetahuan kepada pembaca
maupun penulis tentang kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
A. SEJARAH BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia secara
resmi diakui keberadaannya pada saat Sumpah Pemuda 1928. Para pemuda yang
menjadi pendiri bangsa dan negara Indonesia pada waktu itu mengucapkan sumpah
bahwa mereka mengaku (1) bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, (2)
berbangsa satu, bangsa Indonesia, serta (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Dengan diikrarkannya
Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang sudah dipakai sejak abad VII itu
menjadi bahasa Indonesia. Pada waktu itu bahasa Indonesia dalam masyarakat
masih disebut sebagai “bahasa Melayu”. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda
melarang pemakaian nama “bahasa Indonesia” sampai mereka takluk pada
balatentara Jepang (1942).
Pemilihan bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan dengan nama “bahasa Indonesia”, dilatarbelakangi
berbagai alasan. Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa yang kosmopolitan dan
Internasional sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda. Bahasa tersebut sudah dipakai
sebagai bahasa perantara (lingua franca) bukan saja di Kepulauan Nusantara,
melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Melayu digunakan tidak
hanya untuk komunikasi antar suku bangsa tetapi dengan bangsa lain seperti
Arab, Cina, India, Belanda dan bangsa asing lainnya. Ini tidak hanya sekedar
sebagai alat komunikasi di bidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang
sosial (alat komunikasi massa), politik (perjanjian antar kerajaan),
sastra-budaya, termasuk dalam penyebaran agama.
Berbagai batu tulis
seperti (1) Prasasti Kedukan Bukit (683) dan Prasasti Talang Tuo (684) di
Palembang, (2) Prasasti Kota Kapur (686) di Bangka Barat, dan (3) Prasasti
Karang Brahi (688), di Merangi, Jambi menggunakan teks bahasa Melayu Kuno.
Selain ditemukan di Pulau Sumatra, beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno
tersebut juga ditemukan di beberapa tempat di Pulau Jawa seperti di Gandasuli
(832) Jawa Tengah, dan prasasti Bogor (942) di Jawa Barat serta ditemukan makam
berbahasa Melayu Minye, Tujoh, Aceh. Selain di Nusantara juga ditemukan
benda-benda arkeologi berbahasa Melayu di Pulau Luzon, Filipina, Ligor,
Thailand, dan Trengganu,Malaysia.
Alasan lainnya ialah
bahasa Melayu lebih egaliter dibandingkan bahasa-bahasa lain di Nusantara
seperti Jawa, Sunda, Bali, yang jauh lebih rumit, baik dalam cara tulis maupun hirarkienya.
Bahasa-bahasa tersebut mengenal tingkatan bahasa halu, biasa, dan kasar yang
digunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat.
Oleh karenanya, bahasa tersebut tidak dapat dipakai berkomunikasi dalam
masyarakat demokratis yang menghendaki setiap orang berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah. Bahasa Melayu pun mengenal kata-kata khusus untuk raja atau
Tuhan, namun hanya sekadarnya saja, sama dengan bahasa-bahasa lain di dunia.
Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda pemakaian bahasa Melayu makin meluas karena sudah digunakan di
sekolah-sekolah dan penerbitan termasuk buku-buku, majalah-majalah (Pandji Poestaka dan Sri Poestaka), dan almanak yang diusahakan oleh pemerintah Belanda.
Bahasa Melayu yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda adalah bahasa Melayu
“resmi” yang dikenal Bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itu juga
digunakan pers yang pro Hindia Belanda yang disebut “pers putih”. Sementara
itu, bahasa Melayu Rendah, untuk membedakan dengan bahasa Melayu Tinggi,
digunakan di kalangan pergerakan kebangsaan dalam rapat-rapat dan kongres serta
dalam berbagai penerbitan. Para pemimpin pergerakan seperti H.O.S
Tjokroaminoto, H. Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
Sjahrir, M. Natsir, dan lain-lain tidak hanya mempergunakan bahasa Melayu
sebagai sarana pikiran-pikiran tetapi memperkaya dengan kosakata wacana tentang
kolonialisme, marxisme, sosialisme, demokrasi dalam pidato dan
tulisan-tulisannya.
Bahasa Melayu Rendah
dikenal juga dengan bahasa Melayu Pasar. Istilah Melayu Pasar karena
dihubungkan dengan kenyataan bahwa bahasa tersebut digunakan dalam jual beli di
pasar, yaitu sebagai bahasa perhubungan ( lingua
franca) antarbangsa (Pribumi, Arab, Cina, India, Belanda dan lain-lain) dan
antarsuku (Jawa, Melayu, Sunda, Bali, Manado, Banjar dan lain-lain) selama
berabad-abad. “Bahasa Melayu Pasar” digunakan juga oleh masyarakat Cina
(peranakan) dalam komunikasi maupun berkesusastraan yang dikenal “Sastra Melayu
Tionghoa” (menurut Nio Joe Land, 1946) atau “Sastra Melayu Asimilasi” (menurut
Pramodya Ananta Toer (dalam pengantar bukunya Tempo Doeloe) serta dalam koran-korannya yang dikenal “pers
kuning”.
Beberapa peristiwa
itulah yang menyebabkan bahasa Melayu, bahasa yang berasal dari Riau yang
penutur dan hasil kesusastraan tidak sebanyak bahasa-bahasa lain di Nusantara
menjadi bahasa persatuan sebagai bekal untuk mempersatukan seluruh bangsa
Indonesia dalam berjuang melawan pemerintah Kolonial Belanda. Peresmian
tersebut diterima dengan penuh kesadaran oleh masyarakat Indonesia sampai
sekarang. Orang yang paling bersemangat hendak memajukan bahasa daerah di mana
pun, tak pernah menggugat kedudukan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa
persatuan dan kesatuan.
Beberapa peristiwa
penting yang mengandung arti dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia dapat
disebutkan sebagai berikut.
1. Pemerintah
Hindia Belanda pada1901 menunjuk Prof. Charles Van Ophuisjsen dibantu Engku
Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim untuk menyusun
pembakuan bahasa Melayu, yang melahirkan sistim ejaan penulisan bahasa Melayu
dengan huruf Latin, yang kemudian dikenal sebagai “Ejaan van Ophuijsen” dan
dimuat dalam Kitab Logat Melajoe dengan anak judul Woordenlisjst voor de spelling der Maleische Taal met Latinjnsche
Karakter. Pembakuan tersebut disesuaikan dengan logika pemikiran Belanda
dan efisiensi penyelenggara administrasi kolonial. Upaya ini dilakukan untuk
mengoptimalkan bahasa Melayu untuk menjalankan kekuasaan dan ekploitasi
kolonialisme Belanda.
2. Selain
diajarkan di sekolah-sekolah Pemerintah Belanda, yang dibangun untuk menyiapkan
tenaga pemerintahan kolonial, bahasa Melayu olahan pemerintah tersebut
disebarkan secara sistematis melalui bacaan-bacaan. Untuk menjalankan kegiatan
tersebut didirikan Commisie voor de
Inlandche Shool en Volslectuur (Taman Bacaan Rakyat, 1908) yang kemudian
menjadi Kantoor voor de Volksectuur
yang diberi nama “Balai Pustaka” (1917). Badan penerbitan ini bukan saja
berusaha mengontrol dan mengatur bahasa Melayu yang dipakai tetapi juga
menjauhkan pembaca dari bacaan-bacaan yang dapat merusak kekuasaan Belanda dan
membangkitkan nasionalisme. Karena itu bacaan-bacaan yang diterbitkan harus
sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda di bidang pendidikan.
3. Pada
25 Juni 1918 keluar ketetapan Ratu Belanda yang memberikan kebebasan kepada
anggota-anggota Dewan Rakyat (Volksrad)
untuk mempergunakan bahasa Melayu dalam perundingan-perundingan. Ketetapan
tersebut berkat desakan-desakan dan hasrat ingin memperjuangkan bahasa Melayu
menjadi bahasa nasional oleh para tokoh-tokoh pergerakan yang sebagian besar
menggunakan bahasa Melayu dalam kongres-kongres, rapat-rapat, tulisan-tulisan,
dan lain-lain. Jahja Datoek Kajo, orang pertama kali yang berpidato menggunakan
bahasa Melayu di Volksrad.
4. Pada
Mei 1933 Sutan Takdir Alisyahbana menerbitkan majalah Pujangga Baru sebagai reaksi atas sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya sastrawan, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme. Tujuan pendiriannya untuk menumbuhkan
kesusastraan baru yang sesuai semangat zamannya dan mempersatukan para
sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya cerai berai dengan menulis di
berbagai majalah. Penyebaran majalah ini terbatas ke kalangan guru dan mereka
yang dianggap memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan dan kesusastraan.
Di antara yang terbatas itu ada juga yang sampai ke Malaysia hingga ikut
berpengaruh terhadap perkembangan sastra Melayu.
Meskipun
pembacanya tidak banyak, tetapi pengaruh majalah ini besar sekali. Banyak ahli
yang menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof. Husein Djajadiningrat, Maria
Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr. Sumanang, Poerwadarmintan dan beberapa
intelektual Indonesia lainnya. Terobosan Pujangga Baru misalnya penggunaan
bahasa yang ditawarkan STA yang mengesampingkan bahasa Melayu yang kemudian
digantikan dengan perpaduan bahasa daerah masing-masing pengarang dan bahasa
asing. Hal itulah yang dikritik oleh kaum bangsawan Melayu dan para guru yang
setia kepada pemerintah kolonial Belanda termasuk beberapa tokoh bahasa pun
seperti H. Agus Salim, Sutan Moh. Zain dan S.M. Latif. Mereka beranggapan
bahasa dalam majalah itu merusak bahasa Melayu. Selain mendirikan majalah
Pujangga Baru, STA pada 1936 menyusun Tatabahasa Bahasa Indonesia.
5. Tahun
1938, dalam rangka memperingati sepuluh tahun Sumpah Pemuda, diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Kongres ini dihadiri oleh
bahasawan dan budayawan terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr. Hoesein
Djajadiningrat, Prof. Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara. Dalam kongres
tersebut dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya bagi
pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut, antara lain:
a.
mengganti Ejaan van Ophuysen,
b.
mendirikan Institut Bahasa Indonesia,
dan
c.
menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan.
Selanjutnya
Kongres Bahasa Indonesia II dilaksanakan pada 28 Oktober s.d. 2 November 1954
di Medan, Sumatera Utara. Kongres ini terselenggara atas prakarsa Menteri
Pendidikan, Pengajaran, Kebudayaan, Mr. Mohammad Yamin. Setelah itu setiap lima
tahun sekali diadakan Kongres Bahasa Indonesia seperti tercantum di bawah ini.
a. Kongres
Bahasa Indonesia III di Jakarta, 28 Oktober s.d. 3 November 1978
b. Kongres
Bahasa Indonesia IV di Jakarta, 21 s.d. 26 November 1983
c. Kongres
Bahasa Indonesia V di Jakarta, 27 Oktober s.d. 3 November 1988
d. Kongres
Bahasa Indonesia VI di Jakarta, 28 Oktober s.d. 2 November 1993
e. Kongres
Bahasa Indonesia VII di Jakarta, 26 s.d. 30 Oktober 1998
f. Kongres
Bahasa Indonesia VIII di Jakarta, 14 s.d. 17 Oktober 2003
g. Kongres
Bahasa Indonesia IX di Jakarta, 20 Oktober s.d. 1 November 2008
h. Kongres
Bahasa Indonesia X di Jakarta, 2013
6. Tahun
1942-1945 (masa pendudukan Jepang), Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda
yang dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa Jepang terpaksa menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk kepentingan penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan, sebab bahasa
Jepang belum banyak dikuasai oleh bangsa Indonesia. Soekarno, Moh. Hatta, dan
para pemimpin lain berkeliling berpidato, membakar semangat rakyat, dan juga
melalui siaran-siaran melalui radio selalu mempergunakan bahasa Indonesia
sehingga bahasa Indonesia kian dekat dengan rakyat. Hal yang demikian
menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting sehingga
untuk pertama kalinya pada masa ini bangsa Indonesia memiliki Kamus Istilah.
7. Tahun
1947 masa Negara Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta, dibentuklah sebuah
panitia Ejaan Bahasa Indonesia yang diketuai oleh Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan ketika itu yaitu Mr. Soewandi. Pada 19 Maret 1947
Menteri Mr. Soewandi dalam surat keputusannya SK No. 264/Bhg. A/47 menetapkan
perubahan ejaan bahasa Indonesia. Ejaan yang diperbaharui ini kemudian dikenal
dengan nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.
8. Tahun
1963 ada upaya dari pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Diraja
Malaysia untuk mengadakan satu ejaan dengan mengingat antara bahasa Indonesia
dan bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa resmi pemerintah Diraja
Malaysia masih satu rumpun atau memiliki kesamaan. Usaha itu antara lain
pemufakatan ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) dengan membentuk panitia Indonesia
dan Melayu, masing-masing diketuai oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana dari Indonesia
dan Syed Nasir bin Ismail dari Persekutuan Tanah Melayu. Panitia ini
menghasilkan konsep bersama yang dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Ejaan
Melayu-Indonesia). Namun, upaya ini akhirnya kandas karena situasi politik
antara Indonesia dan Malaysia yang sempat memanas.
9. Tahun
1948 terbentuk sebuah lembaga yang menangani pembinaan bahasa dengan nama Balai
Bahasa. Lembaga ini, pada tahun 1968, diubah namanya menjadi Lembaga Bahasa
Nasional dan pada tahun 1972 diubah menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Pusat Bahasa.
10. Pada
16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia, Soeharto meresmikan penggunaan
Ejaan yang Disempurnakan (kemudian biasa disingkat EYD) yang dikuatkan dengan
Keputusan Presiden Nomor 57, tahun 1972 dan Tap. MPR No. 2/1972. Ejaan tersebut
menggantikan ejaan lam, ejaan Republik atau ejaan Soewandi. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pembentukan Istilah resmi diberlakukan
31 Agustus 1972.
B. KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia
memiliki kedudukan yang penting bagi bangsa Indonesia tercermin dalam ikrar
ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan UUD 1945, Bab XV Pasal 36. Ikrar
ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, tersebut menegaskan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional. Sebagai bahasa nasional dirumuskan fungsi bahasa
Indonesia dalam “Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan oleh
Pusat Bahasa di Jakarta, 25 - 28 Februari 2010. Hasil rumusan seminar tersebut
mengungkapkan bahwa sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi
sebagai :
1.
Lambang kebanggaan nasional
2.
Lambang identitas nasional
3.
Alat pemersatu masyarakat yang berbeda
latar budayanya
4.
Alat perhubungan antarbudaya dan
antardaerah
Sebagai
lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial
budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa
Indonesia, kita harus bangga dengannya, kita harus menjunjungnya, dan kita
harus mempertahankannya. Kebanggaan tersebut bukan hanya karena bahasa
Indonesia mengandung nilai-nilai luhur tetapi karena sejak awal bahasa
Indonesia sudah ditetapkan sebagai bahasa nasional.
Sebagai
lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila
masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga
bersih dari unsur-unsur bahasa lain, terutama bahasa asing.
Sebagai
pemersatu masyarakat yang berbeda latar budayanya, bahasa Indonesia
memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa
yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan
pada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah
masing-masing.
Sebagai
perhubungan antar budaya dan antardaerah, dengan bahasa Indonesia kita dapat
saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan, kita dapat berhubungan satu
dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat
perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa dapat dihindarkan.
Selain sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa negara. Hal ini
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 yang berisi, “Bahasa
Negara adalah bahasa Indonesia.” Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai,
1.
bahasa resmi kenegaraan,
2.
bahasa pengantar resmi di
lembaga-lembaga pendidikan
3.
bahasa resmi di dalam perhubungan pada
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
serta pemerintah, dan
4.
bahasa resmi di dalam pengembangan
kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan
kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Termasuk ke dalam
kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan
serta pidato-pidato kenegaraan dan surat-surat yang dikeluarkan oleh instansi
pemerintah.
Sebagai bahasa resmi,
bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan
mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh
Indonesia dan pada sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri.
Sebagai alat
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan. Bahasa
Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antar
daerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat perhubungan di dalam
masyarakat yang sama latar belakang social budayanya.
Sebagai fungsi
pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia dapat
menjadi alat untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional termasuk
sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita. Hal ini
juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern.
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa
Indonesia secara resmi diakui keberadaannya pada saat Sumpah Pemuda 1928.
Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang sudah dipakai
sejak abad VII itu menjadi bahasa Indonesia. Beberapa peristiwa penting yang
mengandung arti dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia, yaitu : adanya
Ejaan van Ophuijsen, badan penerbit Balai Pustaka, Jahja Datoek Kajo orang
pertama kali yang berpidato menggunakan bahasa Melayu di Volksrad, angkatan
sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru, adanya kongres
Bahasa I di solo, adanya Kamus Istilah , Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi,
Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia), Pusat Bahasa, penggunaan Ejaan yang
Disempurnakan (kemudian biasa disingkat EYD).
Bahasa
Indonesia memiliki kedudukan yang penting bagi bangsa Indonesia tercermin dalam
ikrar ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan UUD 1945, Bab XV Pasal 36.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, memiliki fungsi sebagai lambang
kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu masyarakat yang
berbeda latar budayanya, alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara memiliki fungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa resmi
di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan bahasa resmi di dalam
pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahtiar, Ahmad dan Fatimah.
2014. Bahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi. Bogor: Penerbit IN MEDIA.
Finoza, Lamuddin. 2008.
Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Diksi.
Hs, Widjono. 2012. Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Rahardi, Kunjana. 2010.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
0 komentar:
Posting Komentar